Wednesday, March 27, 2013

Schizophrenia, Bergumul Dalam Halusinasi


Schizophrenia, Bergumul Dalam Halusinasi





Penyakit schizophrenia kerap diartikan sebagai penyakit mental yang menyerang otak manusia. Apa sebenarnya schizophrenia itu? Apa sebab dan bagaimana penanganannya?
Schizophrenia adalah penyakit otak kronik, berbahaya dan ketidakmampuan otak dalam bekerja dengan baik. Pada pria biasanya terjadi saat remaja akhir atau awal umur 20-an tahun, sedangkan pada wanita terjadi saat umur 20-an tahun sampai awal 30-an tahun.

Seperti dikutip dari schizophrenia.com, Minggu (19/7/2009) orang dengan schizophreniabiasanya mengalami gejala seperti mendengar suara yang tidak dapat didengar oleh orang lain, atau percaya bahwa orang lain bisa membaca pikiran mereka, mengontrol pikiran mereka, dan bahkan lebih berbahaya daripada itu.

Gejala-gejala tersebut dapat menjadikan mereka takut dan pendiam. Bicara dan tingkah laku mereka bisa jadi kacau bahwa mereka tidak dapat dimengerti atau menakutkan bagi orang lain. 

Schizophrenia hampir ditemukan di semua negara, tanda awal penderitaschizophrenia adalah sering bingung, kaget dan kelakuan yang berubah. Kondisi kejiwaan yang umum terjadi pada penderita schizophrenia adalah pelemahan mental yang ditandai dengan halusinasi, adanya gangguan pada panca indera, khayalan, tidak bia memisahkan antara yang nyata dan pengalaman yang tidak nyata (unreal).

Gejala yang kurang jelas seperti penarikan diri dari sosial, kelakuan yang tidak biasa dalam berbicara, berpikir, ataupun kelakuan sehari-hari, yang mungkin mendahului atau terlihat bersamaan dengan gangguan kejiwaan lainnya.

Tidak ada yang tahu penyebab tunggal schizophrenia, peneliti belum memahami secara pasti faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya schizophrenia. Tetapi pada penelitian biologimedical modern kemungkinan disebabkan oleh gen, kelainan saat perkembangan otak, dan hal-hal lain yang dapat menyebabkan penyakit tersebut. 

Setiap orang harus menghindari paparan yang dapat memicu seperti kekurangan gizi, infeksi, atau stress selama periode kritis perkembangan otak.

Orang yang memiliki hubungan dekat dengan penderita schizophrenia mempunyai kesempatan lebih besar untuk menderita schizophrenia. Sebagai contoh anak yang orang tuanya menderita schizophrenia memiliki peluang terkena schizophrenia 10%, dan jika dalam lingkungan yang umum, setiap anak memiliki peluang terkena schizophrenia hanya 1%.

Jika dihubungkan dengan zat kimia di otak, penyebab schizophrenia kemungkinan melibatkan neurotransmitter dopamine dan glutamat. 

Obat antiphyhotic dapat mengurangi risiko dimasa depan, namun pengobatannya harus hingga tuntas, karena jika tidak dilanjutkan kemungkinan akan kambuh kembali dengan tingkat yang lebih tinggi.

Selama fase-fase awal kemungkinan pasien akan mengalami efek samping seperti kantuk, gelisah, gemetar, mulut kering dan penglihatan kabur. Selain menggunakan obat-obatan, pengobatan yang lain juga perlu seperti pengobatan psikologis, yang meliputi rehabilitasi, individual psikoterapi, dukungan keluarga, dan self-help groups.

Pastikan bahwa orang yang menderita schizoprenia tetap mendapatkan perawatan, meskipun telah keluar dari rumah sakit. Tanpa perawatan, pasien bisa menjadi lebih kacau dan bahkan bisa gila.

Tuesday, March 26, 2013

Jujur, Kiat Menuju Selamat

Jujur, Kiat Menuju Selamat



Mukadimah

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.

Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,

“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Definisi Jujur

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.

Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

Keutamaan Jujur

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.

Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,

“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”

Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.

Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.

Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”

Macam-Macam Kejujuran

Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.

Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.

Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)

Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”

Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)

Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

Khatimah

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,

“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.

Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)

Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,

“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)

Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)

Referensi:

Makarimul-Akhlaq, karya Syakhul-Islam Ibn Taimiyah ; cet. Ke-1. 1313 ; Dar- alkhair, Bairut, Libanon.
Mukhtashar Minhajul-Qashidin, karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Maktabah Dar Al-Bayan, Damsiq, Suria.
Mukhtarat min Al-Khutab Al-Mimbariah, karya Syaikh Shalih ibn Fauzan ; cet. Ke – 1, Jam’iayah Ihya’ At-Turats Al-Islamy.
Syarh Riyadhus As-Shalihin, karya Syaikh Mahammad ibn Shalih Al-Utsaimin ; cet – 1 ; Dar- Wathan, Riyadh, KSA.

Dari artikel 'Jujur, Kiat Menuju Selamat — Muslim.Or.Id'

Sunday, March 24, 2013

POLA ASUH KELIRU MEMBUAT ANAK MENJADI MANJA


POLA ASUH KELIRU MEMBUAT ANAK MENJADI MANJA





SIKAP manja yang berlebihan pada anak timbul karena pola asuh yang keliru sejak kecil. Sering orang tua merasa dilema karena tidak mampu mengendalikan anak ketika memiliki keinginan yang dalam pikiran orang tua tak boleh diikuti.

Namun di sisi lain, ada ketakutan para orang tua jika hal tersebut tidak diikuti, anak akan berpikir bahwa orang tua mereka tak menyayanginya.

Padahal, tanpa disadari orang tua, sikap ini akan memberikan dampak negatif bagi anak. Menurut psikolog Diah Utami Ningsih, setiap anak memiliki karakter berbeda dan sebenarnya manja pada anak adalah hal yang wajar.

’’Orang tua jangan sampai terlena dengan memanjakan anak. Karena perilaku manja yang berlebihan tidak mendidik anak untuk mandiri dan percaya dengan potensi yang dimilikinya,” jelas Diah.

Menurutnya, karakter manja pada anak dikarenakan pola asuh yang keliru oleh orang tuanya. ’’Misalnya, orang tua tidak pernah menahan apa yang selalu menjadi keinginan anak dan anak diberikan kebebasan tanpa ada nilai-nilai yang membatasi sehingga pada akhirnya anak beranggapan bahwa apa yang diinginkannya selalu terpenuhi, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri,” tuturnya.

Dosen Bimbingan Konseling Unila ini mengungkapkan, jika sikap manja terus ada pada anak, akan memberikan efek yang tidak baik bagi anak dalam perilakunya maupun kehidupan sosialnya.

Anak yang manja, imbuhnya, akan sangat sulit bersosialisasi karena dia tidak menghargai pertemanan. ’’Ia lebih cenderung bersifat bossy, kemudian kurang peka dan tidak kreatif. Karena terbiasa dilayani, maka kreativitas dan sikap inisiatifnya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat pun lemah,” kata dia.

Tak hanya itu, terus Diah, anak akan menjadi malas dan kecerdasaan emosionalnya menjadi rendah seperti kurang empati, kurang menghargai dan hilang rasa tanggung jawabnya. “Anak akan sulit dipercaya,” tegas dia.

Lebih lanjut Diah menerangkan, sikap manja akan hilang dengan melatih kemandirian sejak usia dini. “Latih anak mengerjakan hal-hal yang sederhana, hal ini secara langsung juga akan melatih rasa responsibilty pada anak., contohnya pada usia bermain yaitu 3 tahun, kita dapat meminta anak memasukan mainannya sendiri ke dalam kotak atau keranjang mainan setelah bermain, bisa dimulai dengan mencontohkannya terlebih dahulu, tidak perlu sempurna tapi dengan memberikan penjelasan mengapa hal itu perlu dilakukannya,” sebut dia.

Diah menambahkan, menghadapi anak manja harus sabar dan bijak. “Artinya ada hal-hal yang bisa turuti dan ada saatnya menahan untuk tidak memenuhi keinginannya, dengan demikian anak berproses sedikit demi sedikit agar memahami bagaimana bersikap terhadap dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya,” tuturnya.
 
Didik pula anak agar ia bisa berbaur dengan lingkungannya. “Hal ini juga dapat menumbuhkan rasa semangatnya berkreatifitas. Jangan membandingkan ia dengan anak lain, hargai setiap kemampuan yang dimilikinya,” kata Diah.

Dan, menghargai kemampuan anak jangan selalu membantunya ketika ia menemukan kesulitan. “Biarkan ia menyelesaikan permasalahannya sendiri, jangan selalu membenarkan setiap perbuatan anak ketika ia melakukan kesalahan, kata bahwa itu salah. Orangtua tidak boleh disertai unsur pemaksaan karena anak sedang dalam proses belajar untuk mandiri dengan mengerjakan semuanya,” terang alumnus Fakultas Psikologi UGM Jogjakarta ini. (cia/c1/tru)

Kasih Sayang Berlebihan Kurang Mendidik

MEMENUHI semua permintaan anak bukan suatu kebiasaan yang baik. Sebab, lama-kelamaan anak menjadi manja. Karenanya, sayangilah sekadarnya. Menurut praktisi pendidikan Megawati, S.Psi., M.Pd., penyebab anak menjadi manja adalah kasih sayang yang berlebihan dari orang tua, keluarga terdekat, dan lingkungannya.

’’Biasanya pada anak pertama, cucu pertama, anak tunggal, atau anak bungsu yang selalu dilindungi secara berlebihan. Ia diberikan apa pun yang diinginkannya dan selalu dibela dalam kondisi salah. Padahal dampaknya, ia tidak bisa mandiri, selalu tergantung pada orang lain, dan jika menghadapi masalah sangat rapuh serta mudah putus asa,” ungkap alumnus Magister Pendidikan Islam IAIN ini.

Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Lampung ini juga menuturkan, cara menghadapi anak yang manja bisa dengan pendekatan pribadi. ’’Anak ditugasi dan diberi tanggung jawab untuk dirinya, dan orang tua memberikan hukuman jika anak salah serta penghargaan jika dia berprestasi. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri, sedangkan orang tua hanya tutwuri handayani dengan melakukan pengawasan,” paparnya.

Lebih lanjut, ia membeberkan beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengatasi sifat manja anak. Pertama, menjadi contoh yang baik bagi anak adalah kunci mencegah anak manja.

’’Hati-hati jika punya kebiasaan konsumtif dengan membeli apa pun yang diinginkan meski sebenarnya Anda tidak mampu dan tak perlu membelinya. Karena bukan tak mungkin anak akan tumbuh menjadi anak yang konsumtif juga dan mengharuskan agar semua keinginannya tercapai,” ungkap Megawati.

Kemudian mintalah ibu, bapak, dan saudara lainnya agar tidak terlalu memanjakan anak. ’’Bagi single parent, hindari saling bersaing dengan mantan pasangan dalam hal memberikan hadiah untuk anak,” ujarnya.
Tentukan pula batasan keinginan anak yang masih boleh dan tidak perlu dituruti serta pertimbangkan dampaknya kelak. ’’Kenali keinginan dan ketertarikan anak akan sesuatu. Dengan demikian, Anda akan tahu mana yang benar-benar keinginan anak dan mana yang hanya ikut-ikut,” katanya.

Lalu, saat hari ulang tahun, biasanya si kecil memberikan list permintaan hadiahnya. ’’Pilihlah hadiah-hadiah yang menurut Anda masih realistis untuk dipenuhi. Kalau perlu, lakukan penyortiran dengan anak agar kedua pihak merasa puas,” ujarnya. (cia/c1/tru)




ISLAM AGAMA CINTA


ISLAM AGAMA CINTA

Suatu kali, lebih dari setengah abad lalu, seorang dosen-perempuan muda berkebangsaan Jerman mengajar tentang filsafat agama di sebuah universitas di Turki. Dengan sikap agak “sok tahu seorang orientalis” di hadapan mahasiswa-mahasiswa di sebuah negeri Muslim “yang belum terlalu maju”, dia berkisah tentang teori Rudolf Otto – seorang pemikir agama terkemuka dan penulis Ideas of the Holy -- mengenai adanya dua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya.

Dalam situasi pertama, papar si dosen muda, Tuhan tampil di hadapan manusia sebagai suatu “misteri yang menggentarkan” (mysterium tremendum).  Pada situasi lainnya, Dia hadir sebagai “misteri yang memesonakan” (mysterium fascinans).  Situasi yang disebut pertama menghasilkan hubungan Tuhan-manusia yang lebih didasarkan pada ketakutan, sementara yang belakangan pada cinta. Yang pertama menghasilkan ketundukan pada hukum (nomos atau syari’ah) sementara yang belakangan ketertenggelaman dalam mahabbah (eros atau thariqah/tashawuf)

Dalam sesi tanya-jawab yang dibuka setelah itu, seorang di antara para mahasiswa itu mengangkat tangan. Segera dia mengejutkan si dosen dengan menyatakan bahwa, sejak berabad lampau, kaum mistikus Muslim (sufi) telah mengajarkan bahwa Tuhan memiliki dua aspek : jalaliyyah (kedasyatan) dan jamaliyyah (keindahan). Kenyataannya, kedua konsep ini memang nyaris indentik dengan pandangan Otto.

Baru lebih dari 30 tahun kemudian, saya mendengar langsung kisah di atas dari mulut si dosen sendiri – almarhumah Annemerie Schimmel. Kali ini si dosen, yang tentu telah menjadi jauh lebih matang dan lebih bijaksana, memperkaya pemahaman mahasiswanya dengan kritiknya terhadap pandangan sebagian ahli fenomenologi agama—seperti  Van der Leeuw—yang melihat Islam sebagai mewakili situasi yang pertama, yakni sebagai agama yang melihat Tuhan melulu sebagai “misteri yang menggentarkan”.

Schimmel, mewakili para ahli mengenai spiritualitas Islam (atau tasawuf) yang lebih belakangan, mendapati Islam sebagai agama yang tak kurang-kurang mempromosikan hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai berorientasi cinta (eros oriented religion). Bahkan, bisa dikatakan,  Islam justru lebih memujikan orientasi cinta ketimbang orientasi yang didominasi rasa takut atau ketundukan pada hukum atau syari’at.

Menurut salah satu penelitian, bukan saja lebih banyak porsi dalam 99 nama Allah (al-asmâ’ al-husnâ) bagi nama-nama yang termasuk dalam aspek jamâlliyyah yang kesemuanya beporos pada cinta, seperti Maha Pengasih (Al-Rahmân), Maha Penyayang (Al-Rahîm) – dua sifat yang menyusun kalimat utama dalam peribadatan Islam, yakni bismil-Lahir-Rahmanir-Rahim -- Maha Pencinta (Al-Wadûd ), Maha Pemaaf (Al-Ghafûr), Maha Penyabar (Al-Shabûr), Maha Lembut (Al-Lathîf ), dan seterusnya. Bahkan di dalam Al-Quran terdapat 5 kali lebih banyak ayat yang di dalamnya Dia menyebut dirinya dengan nama jamâliyyah ini ketimbang jalâliyyah. Sebagai contoh, menurut catatan kata-kata Al-Rahmân dan Al-Rahîm dipergunakan sebanyak 124 kali dalam Al-Quran. Sementara kata-kata ghadhab (murka) dan bentuknya terdapat hanya 7 kali dalam seluruh kitab suci yang sama.

Dengan kata lain, Allah menampilkan dirinya—dan tak ada yang dapat menampilkan Allah lebih tepat dari diri-Nya sendiri—lebih sebagai Zat yang indah dan memesona serta menimbulkan cinta kasih, ketimbang sebagai suatu misteri dahsyat yang menggentarkan.

Kenyataan ini tentu sama sekali tak berarti bahwa kita harus mengabaikan penampilan Allah Swt. dalam segenap kedahsyatannya. Tapi, bahwa segenap kedahsyatan Allah itu—kemurkaan, kepemaksaan, janji pembalasan-Nya terhadap kejahatan makhluk, dan sebagainya—merupakan bagian dari kecintaan-Nya. Hal ini juga terungkap secara tegas dalam firman-Nya dalam sebuah hadis qudsi : “Sesungguhnya kasih-sayang-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” Dengan kata lain, bukan saja murka Allah adalah demi kebaikan bagi manusia, tapi ia bersumber dari prinsip kasih-sayang-Nya. Mungkin tak beda dengan kemarahan orang tua kepada anak yang disayanginya.

Di dalam Al-Quran, Dia sendiri menyatakan sebagai “telah menetapkan atas-Diri-Nya sifat pengasih (rahmat),” serta mengajarkan bahwa rahmat-Nya “seluas langit dan bumi” dan “meliputi segala sesuatu.” Sejalan dengan itu, Nabi-Nya pernah mengabarkan kepada kita bahwa: “Allah memiliki seratus rahmat. (Hanya) satu yang ditebarkan-Nya ke atas alam semesta, dan itu sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di hati para ibu kepada anak-anaknya.”

Sayangnya, dalam segenap kegentaran kita kepada kedahsyatan (jalâl ) Allah Swt., banyak di antara kita sulit membayangkan bentuk hubungan cinta antara Yang Maha Segala dan makhluk ringkih bernama manusia ini. Paling banter, orang akan menafsirkannya sebagai sinonim dari keterikatan atau ketaatan seorang hamba (‘abd ) yang takut kepada Tuhan (Rabb)-nya.

Untuk membuyarkan fiksasi kita tentang Allah yang menakutkan ini, Ibn ‘Arabî dalam karya-besarnya, Fushûsh Al-Hikam menggambarkan hubungan cinta antara Allah dan manusia sebagai hubungan cinta antara manusia lelaki dan perempuan. (Inilah, kata Ibn ‘Arabî, sebagian hikmah hadis termasyhur Nabi Saw. mengenai kecintaan beliau kepada perempuan, di samping kepada shalat dan wangi-wangian). Artinya, kecintaan Allah kepada manusia—dan yang sebaliknya—adalah seperti cinta-kasih dua sejoli anak manusia yang asyik-masyuk (berasal dari kata-kata bahasa Arab âsyiq-masyuk yang merupakan bentukan dari kata ‘isyq—berarti cinta, dan merupakan salah satu istilah kunci dalam tasawuf).

Di sisi lain, Al-Quran pun menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi hubungan antara manusia dan Allah (lihat, antara lain, Al-Quran Surah Al-Mâ’idah [5]: 54; Al-Baqarah [2]: 165, 216). Inilah salah satunya:

“ … Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka mencintai-Nya.”. Juga,
“Adapun orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah.”.

Gagasan seperti ini menonjol terutama dalam tasawuf. Di kalangan kaum sufi, kita dapati sufi-sufi besar seperti Ibn ‘Arabî dan Ibn al-Faridh, serta Jalaluddin Rumi dikenal dengan pandangannya tentang cinta sebagai sumber kehidupan. Tentu saja juga perempuan Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah. Sufi-perempuan ini dikenal dengan syair-syair menggetarkan yang menunjukkan hubungan cinta-kasih antara manusia dan Tuhan:

“Ya Allah,” demikian munajatnya di suatu malam, “saat ini gelap telah menyelimuti bumi. Lentera-lentera telah dimatikan, dan para manusia telah berdua-dua dengan kekasih-Nya. Maka, inilah aku, mengharapkan-Mu.”

Diriwayatkan, dia pernah ditemui orang berjalan di jalanan Kota Bagdad sambil membawa obor di salah satu tangannya, dan seember air di tangannya yang lain. Ketika ditanya orang tentang tujuannya, dia menjawab: “Aku akan membakar surga dengan obor ini, dan memadamkan api neraka dengan seember air ini.” Memang Rabi‘ah juga dikenal luas dengan syairnya:

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena berharap surgamu, maka jauhkanlah surga itu dariku. Jika aku menyembah-Mu karena takut nerakamu, maka masukkan aku ke dalamnya. Tapi, jangan halangi aku dari melihat wajah-Mu.”

Munajat Rabi‘ah ini kiranya sejalan belaka dengan berbagai ujaran ‘Ali ibn Abi Thalib—sahabat dan penerima wasiat Nabi, guru para sufi awal, dan pangkal hampir semua silsilah tarekat—khususnya dalam bagian-bagian tertentu dalam Doa Kumail yang diajarkan kepadanya oleh Nabi sendiri :

“… kalaupun aku sabar menanggung beban-penderitaan (di neraka) bersama musuh-musuh-Mu dan Kau kumpulkan aku dengan para penerima siksa-Mu, dan Kau ceraikan aku dari para kekasih dan sahabat-Mu … kalaupun aku, Wahai Ilah-ku, Tuanku, Sahabatku, dan Rabb-ku, sabar menanggung siksa-Mu, bagaimana kubisa sabar menanggung perpisahan dengan-Mu ... kalaupun aku bisa bersabar menanggung panas-neraka-Mu, bagaimana kubisa bersabar dari melihat kemuliaan-Mu ….”

Dalam konteks ini menjadi terpahamkan ketika, suatu kali, ‘Ali “menyayangkan” ibadah a la budak yang ketakutan, atau a la pedagang yang selalu menghitung-hitung imbalan, seraya memuji hubungan yang berlandaskan cinta.
Seolah menjelaskan maksud ujaran Bapaknya itu, Husain ibn ‘Ali menyeru: “… merugilah perdagangan seorang hamba yang tidak menjadikan cinta kepada-Mu sebagai bagiannya.”

Islam, terutama melalui tasawuf, mempromosikan jenis hubungan penuh cinta-kasih antara Tuhan dan manusia, antara Khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan), antara Ma‘bûd (Yang Disembah) dan ‘âbid (hamba), dan seterusnya. Yakni ketika segenap kedirian serba-duniawi kita telah sirna oleh mujâhadah dan jiwa kita yang telah tersucikan kembali lebur (fanâ’ ) dan tinggal tetap (baqa) menyatu dengan-Nya. Hubungan seperti ini adalah puncak dari seluruh perjalanan spiritual (sulûk) manusia (kembali kepada Allah).

BELAJAR RENDAH HATI


BELAJAR RENDAH HATI


Dalam mengawali sebuah cerita, saya biasanya membukanya dengan sebuah pertanyaan. Dan dalam cerita kali ini pun saya akan memulainya dengan sebuah pertanyaan.

Apa yang cenderung kita lakukan ketika mendapatkan masukan atau kritikan dari orang lain? Apa respon yang secara spontan keluar dari otak?

Saya bukanlah seorang psikolog yang bisa menjelaskan secara saintifik terkait human behaviour. Bukan pula seorang ahli yang mengerti secara dalam terkait jiwa. Namun, ijinkanlah saya untuk menyampaikan opini saya terkait pertanyaan di atas.

Menurut pengalaman saya, secara naluriah manusia dengan spontan akan membela diri ketika mendapat sebuah "serangan"; entah itu berbentuk sikap fisik maupun lisan. Maka, begitu pula halnya ketika kita mendapatkan sebuah kritikan atau masukan, yang kadang dianggap sebagai serangan. Kita cenderung untuk berusaha semaksimal mungkin membela diri. Dalam beberapa kasus tertentu malah berusaha untuk membalas, memberikan serangan balik.

Di sisi lain, ada pula kecenderungan di dalam diri untuk menyepelekan dan mengabaikan suatu masukan atau kritikan yang disampaikan kepada kita. Terlebih jika yang menyampaikan adalah orang yang lebih muda, lebih rendah posisi/jabatannya, atau inferioritas lainnya.

Namun, saya tidak mengatakan bahwa membela diri merupakan sebuah sikap yang salah. Itu manusiawi. Wajar jika ada usaha untuk melindungi diri dari kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat melukai.

***
Saya belajar sebuah hal. Bahwasanya sebuah KEBENARAN bisa berasal dari siapapun, di manapun dan kapanpun. Oleh karenanya, kita perlu belajar untuk rendah hati; selalu terbuka untuk mendengarkan nasihat dan belajar dalam setiap kesempatan.

Tidak selalu sebuah kritikan dan masukan itu buruk. Tidak selalu mereka yang menyampaikan kritikan dan masukan itu berniat menjatuhkan. Selama sebuah kritikan itu bersifat konstruktif, maka tak mengapa ia disampaikan.

Sebelum terburu-buru menjustifikasi buruk terhadap suatu kritikan atau masukan, ada baiknya kita sejenak merenungkan apa yang disampaikan oleh pemberi masukan dan kritikan tersebut. Apakah yang disampaikan mereka tersebut memang benar adanya? Apakah itu KEBENARAN? Jika ya, maka sepatutnya kita berusaha untuk menundukkan emosi dan ego, dan kemudian belajar untuk rendah hati menerima kebenaran tersebut. Sehingga, saat mendengar sebuah masukan atau kritikan, kita tidak terburu-buru membela diri, marah atau menyerang balik.

***
Kembali melihat definisi rendah hati, yaitu sikap untuk selalu terbuka dalam mendengarkan nasihat dan belajar dari setiap kesempatan, dari siapapun, di manapun, kapanpun", saya menangkap pesan bahwasanya dibalik sebuah kritikan dan masukan, bisa jadi di dalamnya terdapat suatu nasihat berharga.  Hanya saja, kita perlu mencernanya terlebih dahulu dengan kepala dingin dan tidak emosi untuk menemukan "hal berharga" tersebut.

Mengapa berharga? Adanya kebenaran yang terdapat di dalam masukan dan kritikan tersebut, menjadi suatu modal penting bagi perbaikan diri untuk menjadi lebih baik. Dan menurut saya,menjadi seseorang yang lebih baik itu sangat tak ternilai harganya. Terlebih, kerendahan hati menjadi salah satu syarat utama seorang pemimpin, karena hanya dari kerendahan hatilah ia mampu memahami permasalahan yang dipimpinnya. Dan karena setiap dari kita adalah pemimpin (paling tidak pemimpin untuk diri sendiri), maka sudah sepatutnya kita belajar untuk rendah hati. Mari :)

"Lihat ke dalam diri. Tanyakan pada hati."

Friday, March 22, 2013

Perbedaan Gangguan Psikofisiologis dengan Somatoform


Perbedaan Gangguan Psikofisiologis dengan Somatoform
Oleh: Lubi Nurzaman

Dalam gangguan psikofisiologis faktor-faktor psikologis benar-benar menyebabkan gangguan-gangguan fisik. Misalnya, stress psikologis yang lama dapat menyebabkan produksi asam lambung bertambah dan asam tersebut dapat menyebabkan lubang pada dinding lambung. Dalam gangguan somatoform, faktor-faktor psikologis menyebabkan simtom-simtom gangguan-gangguan fisik tetapi tidak ada gangguan-gangguan yang aktual (tidak ada jaringan-jaringan yang rusak dalam tubuh). Misalnya seseorang yang menderita gangguan konversi kemungkinan akan menderita kelumpuhan pada lengan, tetapi syaraf-syaraf otot atau tulang lengan tidak rusak.

Contoh kasus psikofisiologis
Andi, seorang mahasiswa, apabila mendekati ujian atau deadline mengumpulkan tugas selalu mengeluhkan timbulnya “bisul” di beberapa tempat. Timbulnya masalah tersebut sama sekali tidak terkait dengan masalah kebersihan kulit karena mahasiswa tersebut rajin membersihkan tubuhnya. Hal yang lebih mempersulit diagnosis ini adalah “bisul” tersebut akan hilang dengan sendirinya setelah ujian selesai atau tugas telah dikumpulkan. Padahal sebelumnya walaupun mahasiswa itu sudah berusaha memberikan berbagai macam obat-obatan, “bisul” itu tidak menghilang, namun hanya pindah tempat dan muncul di tempat lain.

Contoh kasus somatoform body dysmorphic disorder
Yuni, 33 tahun seorang perempuan dengan wajah cukup menarik; mata bulat, hidung mancung, kulit putih bersih dan rambut hitam sebahu, datang ke psikiater atas rujukan dan dari seorang dokter bedah plastik. Menurut sang dokter, menemui psikiater adalah syarat sebelum pasien dapat menjalani bedah plastik. Yuni mengatakan ia ingin menjalani bedah plastik, karena hidungnya dirasakan terlalu pesek. Ia merasa terganggu dengan kondisi hidungnya yang membuatnya kurang percaya diri di depan orang lain. Menurutnya, sebelumnya ia sudah pernah melakukan beberapa usaha untuk membuat hidungnya mancung antara lain 2 kali suntik silikon di pusat kecantikan dan mendatangi seorang ahli pengobatan alternatif yang terkenal dapat “mempermak” wajah seseorang, namun hingga kini hasilnya kurang memuaskan.
Akhirnya Yuni memutuskan untuk menjalani operasi plastik, sehingga dapat memperbaiki tulang hidungnya agar menjadi lebih mancung.