ISLAM AGAMA CINTA
Suatu kali, lebih dari setengah abad lalu, seorang
dosen-perempuan muda berkebangsaan Jerman mengajar tentang filsafat agama di
sebuah universitas di Turki. Dengan sikap agak “sok tahu seorang orientalis” di
hadapan mahasiswa-mahasiswa di sebuah negeri Muslim “yang belum terlalu maju”,
dia berkisah tentang teori Rudolf Otto – seorang pemikir agama terkemuka dan
penulis Ideas of the Holy -- mengenai adanya dua situasi pertemuan manusia
dengan Tuhannya.
Dalam situasi pertama, papar si dosen muda, Tuhan tampil di hadapan
manusia sebagai suatu “misteri yang menggentarkan” (mysterium tremendum). Pada situasi lainnya, Dia hadir sebagai
“misteri yang memesonakan” (mysterium fascinans). Situasi yang disebut pertama menghasilkan
hubungan Tuhan-manusia yang lebih didasarkan pada ketakutan, sementara yang
belakangan pada cinta. Yang pertama menghasilkan ketundukan pada hukum (nomos
atau syari’ah) sementara yang belakangan ketertenggelaman dalam mahabbah (eros
atau thariqah/tashawuf)
Dalam sesi tanya-jawab yang dibuka setelah itu, seorang di
antara para mahasiswa itu mengangkat tangan. Segera dia mengejutkan si dosen
dengan menyatakan bahwa, sejak berabad lampau, kaum mistikus Muslim (sufi)
telah mengajarkan bahwa Tuhan memiliki dua aspek : jalaliyyah (kedasyatan) dan
jamaliyyah (keindahan). Kenyataannya, kedua konsep ini memang nyaris indentik
dengan pandangan Otto.
Baru lebih dari 30 tahun kemudian, saya mendengar langsung
kisah di atas dari mulut si dosen sendiri – almarhumah Annemerie Schimmel. Kali
ini si dosen, yang tentu telah menjadi jauh lebih matang dan lebih bijaksana,
memperkaya pemahaman mahasiswanya dengan kritiknya terhadap pandangan sebagian
ahli fenomenologi agama—seperti Van der
Leeuw—yang melihat Islam sebagai mewakili situasi yang pertama, yakni sebagai
agama yang melihat Tuhan melulu sebagai “misteri yang menggentarkan”.
Schimmel, mewakili para ahli mengenai spiritualitas Islam
(atau tasawuf) yang lebih belakangan, mendapati Islam sebagai agama yang tak
kurang-kurang mempromosikan hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai
berorientasi cinta (eros oriented religion). Bahkan, bisa dikatakan, Islam justru lebih memujikan orientasi cinta
ketimbang orientasi yang didominasi rasa takut atau ketundukan pada hukum atau
syari’at.
Menurut salah satu penelitian, bukan saja lebih banyak porsi
dalam 99 nama Allah (al-asmâ’ al-husnâ) bagi nama-nama yang termasuk dalam
aspek jamâlliyyah yang kesemuanya beporos pada cinta, seperti Maha Pengasih
(Al-Rahmân), Maha Penyayang (Al-Rahîm) – dua sifat yang menyusun kalimat utama
dalam peribadatan Islam, yakni bismil-Lahir-Rahmanir-Rahim -- Maha Pencinta
(Al-Wadûd ), Maha Pemaaf (Al-Ghafûr), Maha Penyabar (Al-Shabûr), Maha Lembut
(Al-Lathîf ), dan seterusnya. Bahkan di dalam Al-Quran terdapat 5 kali lebih
banyak ayat yang di dalamnya Dia menyebut dirinya dengan nama jamâliyyah ini
ketimbang jalâliyyah. Sebagai contoh, menurut catatan kata-kata Al-Rahmân dan
Al-Rahîm dipergunakan sebanyak 124 kali dalam Al-Quran. Sementara kata-kata
ghadhab (murka) dan bentuknya terdapat hanya 7 kali dalam seluruh kitab suci
yang sama.
Dengan kata lain, Allah menampilkan dirinya—dan tak ada yang
dapat menampilkan Allah lebih tepat dari diri-Nya sendiri—lebih sebagai Zat
yang indah dan memesona serta menimbulkan cinta kasih, ketimbang sebagai suatu
misteri dahsyat yang menggentarkan.
Kenyataan ini tentu sama sekali tak berarti bahwa kita harus
mengabaikan penampilan Allah Swt. dalam segenap kedahsyatannya. Tapi, bahwa
segenap kedahsyatan Allah itu—kemurkaan, kepemaksaan, janji pembalasan-Nya
terhadap kejahatan makhluk, dan sebagainya—merupakan bagian dari kecintaan-Nya.
Hal ini juga terungkap secara tegas dalam firman-Nya dalam sebuah hadis qudsi :
“Sesungguhnya kasih-sayang-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” Dengan kata lain, bukan
saja murka Allah adalah demi kebaikan bagi manusia, tapi ia bersumber dari
prinsip kasih-sayang-Nya. Mungkin tak beda dengan kemarahan orang tua kepada
anak yang disayanginya.
Di dalam Al-Quran, Dia sendiri menyatakan sebagai “telah
menetapkan atas-Diri-Nya sifat pengasih (rahmat),” serta mengajarkan bahwa
rahmat-Nya “seluas langit dan bumi” dan “meliputi segala sesuatu.” Sejalan
dengan itu, Nabi-Nya pernah mengabarkan kepada kita bahwa: “Allah memiliki
seratus rahmat. (Hanya) satu yang ditebarkan-Nya ke atas alam semesta, dan itu
sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di hati para ibu kepada anak-anaknya.”
Sayangnya, dalam segenap kegentaran kita kepada kedahsyatan
(jalâl ) Allah Swt., banyak di antara kita sulit membayangkan bentuk hubungan
cinta antara Yang Maha Segala dan makhluk ringkih bernama manusia ini. Paling
banter, orang akan menafsirkannya sebagai sinonim dari keterikatan atau
ketaatan seorang hamba (‘abd ) yang takut kepada Tuhan (Rabb)-nya.
Untuk membuyarkan fiksasi kita tentang Allah yang menakutkan
ini, Ibn ‘Arabî dalam karya-besarnya, Fushûsh Al-Hikam menggambarkan hubungan
cinta antara Allah dan manusia sebagai hubungan cinta antara manusia lelaki dan
perempuan. (Inilah, kata Ibn ‘Arabî, sebagian hikmah hadis termasyhur Nabi Saw.
mengenai kecintaan beliau kepada perempuan, di samping kepada shalat dan
wangi-wangian). Artinya, kecintaan Allah kepada manusia—dan yang
sebaliknya—adalah seperti cinta-kasih dua sejoli anak manusia yang asyik-masyuk
(berasal dari kata-kata bahasa Arab âsyiq-masyuk yang merupakan bentukan dari
kata ‘isyq—berarti cinta, dan merupakan salah satu istilah kunci dalam
tasawuf).
Di sisi lain, Al-Quran pun menegaskan bahwa seharusnya
cintalah yang melandasi hubungan antara manusia dan Allah (lihat, antara lain,
Al-Quran Surah Al-Mâ’idah [5]: 54; Al-Baqarah [2]: 165, 216). Inilah salah
satunya:
“ … Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan
mereka mencintai-Nya.”. Juga,
“Adapun orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan
mereka kepada Allah.”.
Gagasan seperti ini menonjol terutama dalam tasawuf. Di
kalangan kaum sufi, kita dapati sufi-sufi besar seperti Ibn ‘Arabî dan Ibn
al-Faridh, serta Jalaluddin Rumi dikenal dengan pandangannya tentang cinta
sebagai sumber kehidupan. Tentu saja juga perempuan Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah.
Sufi-perempuan ini dikenal dengan syair-syair menggetarkan yang menunjukkan
hubungan cinta-kasih antara manusia dan Tuhan:
“Ya Allah,” demikian munajatnya di suatu malam, “saat ini
gelap telah menyelimuti bumi. Lentera-lentera telah dimatikan, dan para manusia
telah berdua-dua dengan kekasih-Nya. Maka, inilah aku, mengharapkan-Mu.”
Diriwayatkan, dia pernah ditemui orang berjalan di jalanan
Kota Bagdad sambil membawa obor di salah satu tangannya, dan seember air di
tangannya yang lain. Ketika ditanya orang tentang tujuannya, dia menjawab: “Aku
akan membakar surga dengan obor ini, dan memadamkan api neraka dengan seember
air ini.” Memang Rabi‘ah juga dikenal luas dengan syairnya:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena berharap surgamu,
maka jauhkanlah surga itu dariku. Jika aku menyembah-Mu karena takut nerakamu,
maka masukkan aku ke dalamnya. Tapi, jangan halangi aku dari melihat wajah-Mu.”
Munajat Rabi‘ah ini kiranya sejalan belaka dengan berbagai
ujaran ‘Ali ibn Abi Thalib—sahabat dan penerima wasiat Nabi, guru para sufi
awal, dan pangkal hampir semua silsilah tarekat—khususnya dalam bagian-bagian
tertentu dalam Doa Kumail yang diajarkan kepadanya oleh Nabi sendiri :
“… kalaupun aku sabar menanggung beban-penderitaan (di
neraka) bersama musuh-musuh-Mu dan Kau kumpulkan aku dengan para penerima
siksa-Mu, dan Kau ceraikan aku dari para kekasih dan sahabat-Mu … kalaupun aku,
Wahai Ilah-ku, Tuanku, Sahabatku, dan Rabb-ku, sabar menanggung siksa-Mu,
bagaimana kubisa sabar menanggung perpisahan dengan-Mu ... kalaupun aku bisa
bersabar menanggung panas-neraka-Mu, bagaimana kubisa bersabar dari melihat
kemuliaan-Mu ….”
Dalam konteks ini menjadi terpahamkan ketika, suatu kali,
‘Ali “menyayangkan” ibadah a la budak yang ketakutan, atau a la pedagang yang
selalu menghitung-hitung imbalan, seraya memuji hubungan yang berlandaskan
cinta.
Seolah menjelaskan maksud ujaran Bapaknya itu, Husain ibn
‘Ali menyeru: “… merugilah perdagangan seorang hamba yang tidak menjadikan
cinta kepada-Mu sebagai bagiannya.”
Islam, terutama melalui tasawuf, mempromosikan jenis hubungan
penuh cinta-kasih antara Tuhan dan manusia, antara Khaliq (Pencipta) dan makhluq
(ciptaan), antara Ma‘bûd (Yang Disembah) dan ‘âbid (hamba), dan seterusnya.
Yakni ketika segenap kedirian serba-duniawi kita telah sirna oleh mujâhadah dan
jiwa kita yang telah tersucikan kembali lebur (fanâ’ ) dan tinggal tetap (baqa)
menyatu dengan-Nya. Hubungan seperti ini adalah puncak dari seluruh perjalanan
spiritual (sulûk) manusia (kembali kepada Allah).
No comments:
Post a Comment