Dalam
acara peluncuran “World Conference on Science, Education and Cultural 2010 (WISDOM)”
pada tanggal 12 Agustus 2009 di Yogyakarta.
Rektor UGM, Soedjarwadi menyatakan bahwa “masalah kesenjangan, adalah masalah
paling besar yang kini di hadapi dunia, yaitu kesenjangan antara manusia dengan
manusia, atau pun
antara manusia dengan alam” (web. 12\08\09).
Makin
lebarnya jurang kesenjangan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan alam
adalah salah satu dari sekian banyak dampak negatif moderenisasi bagi
kehidupan manusia. Moderinisasi
menciptakan manusia-manusia yang individualistik, hedonis, dan menumbuhkan
budaya konsumerisme. Salah
satu contoh dampak negatif
moderenisasi bagi kehidupan manusia adalah masyarakat kota terutama di
kota-kota besar seperti
Jakarta jarang sekali dalam suatu lingkungan mengenal seluruh warga yang ada di lingkungan tersebut,
hasil investigasi salah satu stasiun TV swasta membuktikan bahwa antara
tetangga seberang rumah pun tidak saling mengenal apalagi mengenal seluruh
warga yang ada di lingkungan tersebut, sehingga keadaan demikian menjadi salah
satu faktor tumbuh suburnya terorisme di Indonesia. Para
teroris mayoritas bersembunyi di perumahan-perumahan kota besar, karena mereka
mengetahuai bahwa warga di daerah itu jarang berinteraksi, atau contoh dampak
negatif terhadap hubungan manusia dengan alam adalah manusia selalu berusaha
mengeksploitasi alam dengan serakah supaya menghasilakan keuntungan yang besar dan dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan dampak negatif
yang terjadi akibat perbuatannya,
Eksploitasi alam yang didasari keserakahan tanpa memperhatikan
berbagai akibat yang ditimbulkan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
ekologis yang parah sehingga menyebabkan kerugian harta benda, dan nyawa yang
tidak terhitung nilainya.
Dulu dekade 80-an sampai dekade 90-an Pulau Kalimantan
dan Sumatera dikenal dengan hutan hujan tropisnya yang maha luas, yang kemudian
menjadikan kedua pulau itu sebagai pulau favorit bagi para pengusaha kayu untuk
menjalankan bisnisnya, sehingga terjadilah pembabatan hutan besar-besaran,
dengan mendapatkan legalisasi dari pemerintah dalam bentuk HPH (Hak Pengelolaan
Hutan), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri
(HTI) tanpa mereboisasi hutan yang telah dibabat, mereka berkilah bahwa mereka
sudah membayar dana reboisasi kepada pemerintah yang semua dana itu tidak jelas
kemana akhirnya. Sekarang rakyat Kalimantan dan Sumatera mulai merasakan
akibatnya, pulau Kalimantan dan Sumatera yang dulunya jarang terkena banjir
kini menjadi pulau langganan banjir dan longsor setiap musim hujan, dan masih
banyak lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat moderenisasi.
Demikian, semua contoh di atas dapat memberikan gambaran
bahwa manusia yang sudah masuk kedalam lingkaran moderenisasi seluruh tenaga,
pikiran, dan waktunya hanya digunakan untuk mengejar kepuasan diri, dan
kepuasan materi yang tidak dilandasi dengan keadaan sepiritual yang kuat serta
dengan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga kepuasan yang diperolehnya
hanya akan bersifat semu sehingga dapat menjerumuskan dirinya kedalam jurang
kebinasaan bahkan akibat paling buruk
adalah dapat ikut menjerumuskan orang lain yang tidak menahu tentang apa yang
telah diperbuat oleh dirinya. Rektor Universitas
Mulawarman menyatakan bahwa “Pertumbuhan
ekonomi tetap dipacu, tetapi kualitas sumber daya alamnya juga tetap harus
terpellihara. Aspek pembangunan ekonomi tidak boleh terpisahkkan dari aspek
pembangunan lingkungan” (web. 12\08\09).
Solusi yang paling ampuh untuk mengatasi semua dampak
negatif moderenisasi salah satunya adalah dengan cara membangkitkan, mengedepankan,
dan menerapakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di tiap-tiap
daerah di Indonesia, karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
dengan adat istidat berbeda-beda dan tentunya setiap suku bangsa memiliki
kearifan lokal khas tersendiri. Secara umum kearifan lokal yang dimiliki bangsa
Indonesia adalah budaya gotong royong, toleransi, simpati, dan empati yang
telah terpupuk sejak zaman nenek moyang. Dalam
literatur-literatur
sejarah mulai dari zaman pra sejarah,
kerajaan Hindhu-Budha,
kerajaan Islam sampai zaman pergerakan nasional bangsa Indonesia terkenal
dengan kearifan lokal
dalam bentuk budaya–budaya positif yang telah disebutkan di atas. Contoh nyata
tentang keampuhan penerapan nilai-nilai kearifan lokal adalah ketika gempa bumi
mengguncang Yogyakarta, warga Yogyakarta bahu membahu dengan pemerintah dan
relawan membangun kembali Yoyakarta yang telah luluh lantak, proses
rekonstruksi pasca gempa di Yogyakarta merupakan rekonstruksi pasca gempa
paling cepat di Indonesia.
Pendididikan tentang kearifan lokal sangat
perlu untuk diberikan kepada para generasi muda penerus bangsa sehingga ketika
mereka dewasa nanti mereka
tidak melupakan kearifan lokal
warisan nenek moyangnya dan siap menghadapi tantangan zaman serta proses
moderenisasi tiada henti. Dalam
proses pendidikan ini sangat diperlukan dukungan dari
berbagai pihak,
terutama dari orang tua, dan guru di
Sekolah, sebagai pihak pengganti orang tua bagi siswa-siswinya.
Orang tua berperan sebagai guru utama dan pemberi
suri tauladan (uswatun hasanah)
yang baik bagi anaknya dalam
proses penerapan nilai-nilai kearifan lokal sehingga tidak
terjadi kesenjangan yang tinggi antara teori
dan praktek dilapangan, dan guru
berperan memberikan pendidikan tentang kearifan lokal secara formal melalui
pelajaran di Sekolah.
Penulis: Lubi Nurzaman
No comments:
Post a Comment