IBADAH HAJI DAN MENTAL ANTI KORUPSI
Oleh: Lubi Nurzaman
Michael
Wolf dalam The Hadj: An American's Pilgrimage to Mecca (1998), mengaku takjub ketika mengikuti serangkaian
ibadah haji. Baginya, haji menyajikan berjuta-juta misteri spiritual yang tak mudah dibahasakan, tapi mampu mengubah diri kita secara
elegan. Haji merupakan tema besar yang selalu aktual dibicarakan. Di Indonesia, haji cenderung menjadi
"tren kebudayaan" paling bergengsi. Mulai dari rakyat biasa, pegawai sipil, kalangan elite, hingga selebritas pun
masuk daftar antrean haji. Bahkan, di antara mereka ada yang hampir setiap
tahun melaksanakannya. Melihat kenyataan itu, muncul sejumlah kritik dan
tanggapan serius dari berbagai kalangan yang merasa risih terhadap "kegiatan
tahunan" mereka, karena ternyata tidak menghasilkan perubahan sosial
apa-apa selain status yang bias. Hanya saja, para analis masih jarang yang mencoba mengaitkan secara spesifik tema
haji dengan perilaku koruptif yang kian menjamur di negeri ini. Padahal, haji
memuat pesan-pesan sosio-religius yang saling mengimbangi. Hal ini terlihat
kontras dengan praktek korupsi. Dalam berhaji, egosentrisme harus benar-benar absen dari diri
kita. Sedangkan modus utama korupsi timbul dari sifat egosentris yang
terpelihara. Ironisnya, dalam penelitian Muhammad Fathollah (2011), justru elite-elite negara yang tersandung kasus
korupsi, rata-rata sudah pernah menunaikan ibadah haji.
Konfrontasi Mental
Johann Friedrich Herbart (1839)
menegaskan setiap kesan-kesan baru yang diterima akan membentuk sebuah
kesadaran yang juga baru dalam diri seseorang. Jika mengacu teori ini, tentu
orang yang melakukan ibadah haji akan mengalami kesadaran baru, kehidupan baru.
Kesan pertama terhadap haji memang datang dari kitab suci. Kemudian membentuk
kesadaran baru, yaitu kewajiban. Meskipun demikian, spirit haji tidak berhenti
di ranah pemenuhan kewajiban semata. Ulama-ulama sufi sering menyebut haji
sebagai konsistensi maksud dan niat disertai semangat religius yang tinggi
untuk memenuhi panggilan-Nya. Di samping itu, urgensi haji terletak dalam makna
substantif yang terkandung, yaitu kesadaran diri (self consciousness).
Kesadaran diri di sini bertumpu pada penguatan sistem totalitas dan ketundukan
menghamba kepada Allah disertai hasrat profetik dalam mendayagunakan segala
aspek spiritual. Tanpa aspek tersebut, haji tidak ada bedanya dengan
kunjungan-kunjungan pariwisata. Kohesivitas haji yang bersifat formal, manasik
haji, dengan kesadaran spiritual yang membatin akan berpengaruh besar terhadap
kualitas hidup seseorang. Pada titik ini, haji mengajarkan kita bertindak
sejalur dengan kehendak hati nurani. Pierre Janet (1889) mengistilahkan
kehendak tersebut sebagai "disosiasi."
Dalam ibadah haji, disosiasi lebih
efektif dilakukan dengan cara selalu memperhatikan "yang lain". Dengan kata lain, disosiasi harus ditekan untuk meluruhkan hasrat
individualitik. Titik temu dimensi-dimensi disosiasi merupakan kunci sukses
meraih keutamaan haji.
Berbeda dari haji, semangat korupsi lahir dari
kebohongan-kebohongan sistemik. Disosiasi yang semestinya memuat dua dimensi,
dalam korupsi, dipotong satu jalur, kemudian membiarkan satunya lagi berkerja
maksimal. Yang dibiarkan justru kehendak naluriah disertai hasrat kuasa yang
tinggi, sementara mental batiniahnya diamputasi. Konfrontasi mental serta spirit dalam haji
versus korupsi memang tak mudah dipertemukan. Akan tetapi, tindak pidana
korupsi yang terus berlangsung meriah sampai kini erat kaitannya dengan mental
spiritual yang mereka bangun tatkala melakukan ibadah haji.
Disosiasi haji yang mengubah hidup nyata-nyata tidak mempan bagi
para koruptor. Hidup mereka tidak berubah menjadi lebih baik, bahkan semakin
berani menggelapkan uang negara. Lantas apa yang salah dari cara mereka
berhaji?
Antikorupsi
Secara kasat mata, memang tidak ada kaitan konkret antara korupsi dan kesalahan melakukan haji. Namun, tesis Michael Wolf dan Johann Friedrich Herbart di atas menarik direnungkan.
Secara psikologis, serangkaian ibadah haji yang melukiskan kebersamaan dalam keragaman memuat pelajaran mental yang cukup krusial digali. Pola disosiasi dalam haji menyiratkan satu kebijaksanaan betapa berharga orang lain, betapa indah kebersamaan, betapa bahagia memanusiakan manusia, dan sebagainya. Nah, inilah yang disebut sebagai mental antikorupsi.
Haji memiliki bias psikologis yang luar biasa dalam membentuk kepribadian seseorang. Jika tidak, harus ada restorasi terhadap formulasi spiritual dalam haji itu sendiri. Apa benar disosiasi itu mengarah dengan tepat, atau malah sebaliknya?
Secara kasat mata, memang tidak ada kaitan konkret antara korupsi dan kesalahan melakukan haji. Namun, tesis Michael Wolf dan Johann Friedrich Herbart di atas menarik direnungkan.
Secara psikologis, serangkaian ibadah haji yang melukiskan kebersamaan dalam keragaman memuat pelajaran mental yang cukup krusial digali. Pola disosiasi dalam haji menyiratkan satu kebijaksanaan betapa berharga orang lain, betapa indah kebersamaan, betapa bahagia memanusiakan manusia, dan sebagainya. Nah, inilah yang disebut sebagai mental antikorupsi.
Haji memiliki bias psikologis yang luar biasa dalam membentuk kepribadian seseorang. Jika tidak, harus ada restorasi terhadap formulasi spiritual dalam haji itu sendiri. Apa benar disosiasi itu mengarah dengan tepat, atau malah sebaliknya?
Bisa jadi, haji dipelintir dari urgensi menjadi gengsi, dari
kesempuranaan menjadi arogan, serta dari spiritual menjadi ajang menaikkan
status sosial. Perwujudan keinginan demikian sering memajukan kepentingan
sosial secara lebih efektif dibanding ketika dia benar-benar bermaksud hanya
memajukan kepentingan sosial tersebut (Adam Smith, 1937).
Jika
penelitian Muhammad Fathollah benar, bisa ditarik kesimpulan para koruptor
tidak mampu menangkap pesan-pesan religius serta tidak bisa merasakan
mental-mental.
antikorupsi yang terselip dalam
rangkaian perjalanan ibadah haji. Kegagalan menggali hikmah sering akibat
persoalan konsistensi niat yang tak lagi berdisosiasi secara sempurna.
Oleh karena itu, totalitas dalam berhaji penting dijalani. Sebab, haji bisa menjadi tolok ukur (psikologis) kehidupan seseorang pada masa selanjutnya. Jemaah haji, terutama elite-elite negara, harus mencoba menata mental antikorupsi yang terkandung dalam nilai-nilai spiritual haji.
Dengan demikian, haji akan membawa perubahan mendasar bagi kualitas individu yang pelan tapi pasti, mental antikorupsi akan tertanam kuat di kalangan elite. Pada gilirannya, perilaku korupsi tidak dijumpai lagi dalam diri elite-elite yang sudah berhaji.
Oleh karena itu, totalitas dalam berhaji penting dijalani. Sebab, haji bisa menjadi tolok ukur (psikologis) kehidupan seseorang pada masa selanjutnya. Jemaah haji, terutama elite-elite negara, harus mencoba menata mental antikorupsi yang terkandung dalam nilai-nilai spiritual haji.
Dengan demikian, haji akan membawa perubahan mendasar bagi kualitas individu yang pelan tapi pasti, mental antikorupsi akan tertanam kuat di kalangan elite. Pada gilirannya, perilaku korupsi tidak dijumpai lagi dalam diri elite-elite yang sudah berhaji.
Sumber: http://www.harianbhirawa/co.id
No comments:
Post a Comment